Jakarta - Warga dan Persatuan Pemilik Tanah dan Pedagang (PPTP) Ciputat menolak penggusuran akibat akan dibangunnya jalan simpang susun (Fly Over) sepanjang 400 meter di Pasar Ciputat. Warga tersebut saat ini diintimidasi dengan alasan perpres oleh Pemda Tangerang dan diberi batas waktu mengosongkan lahan hingga akhir Juni 2005. Mereka mendatangi WALHI dan memberikan kuasa hukumnya sebagai penggugat Uji Materil Perpres tersebut.
"Kami menolak pembangunan fly over yang akan membuat kami tergusur dari tempat kami berdagang," kata M. Syarifudin, sekertaris PPTP. Sikap dan pandangan Warga dan pedagang sepanjang Jalan Ir. Juanda dan Dewi Sartika di Pasar Ciputat, tidak cocok dengan langkah Pemda. Masyarakat dan para pedagang menjadi resah karena akan menciptakan iklim usaha yang tidak menentu.
Solusi yang ditawarkan Pemda Kabupaten Tangerang untuk mengatasi kemacetan di Pasar Ciputat ini didukung dengan dana pinjaman pemeritah pusat dari utang luar negeri senilai Rp. 104 miliar untuk pembangunan fisik. Sedangkan anggaran untuk pengadaan tanah/lahan sebesar Rp. 29 miliar dengan dana tambahan sebesar Rp. 13 miliar.
Warga menganggap biaya yang dikeluarkan dengan manfaat yang diperoleh tidak sebanding jika rencana fly over itu diwujudkan. Ini akan menghambur-hamburkan dana anggaran, dan menimbulkan masalah sosial dan ekonomi juga dana hutang tersebut akan menjadi beban masyarakat, karena masyarakatlah yang harus menanggung beban utangnya.
Menurut warga dari konsep penataan wilayah tempat usaha sudah sesuai dengan rencana umum tata ruang wilayah. Sedangkan kemacetan yang terjadi lebih disebabkan karena tidak tersedianya terminal, kurangnya disiplin para sopir angkutan umum dan pedagang kaki lima, jumlah angkutan umum yang tidak disesuaikan dengan pelebaran jalan dan penataan pasar Ciputat yang tidak cermat sehingga lokasi pedagang semrawut. Untuk itu warga sepakat menolak usulan Pemda dan menawarkan solusi mengatasi kemacetan.
Melihat hal ini sebagai ekses yang terjadi akibat keluarnya Perpres. Ia menilai bahwa Perpres tersebut terbukti mengakibatkan penggusuran demi kepentingan pebisnis dengan berkedok kepentingan umum. "WALHI menerima kuasa hukum warga ini dan akan memperjuangkannya. Kita bisa buktikan bahwa arti kepentingan umum yang sesungguhnya adalah melindungi hak-hak hidup manusia atas tanah dan sumber penghidupannya," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar